PENDAHULUAN
Tujuan pertama dari perbanyakan dengan stek, baik akar, batang, daun atau tunas adalah tumbuhnya akar baru. Sel somatik yang telah dewasa mempunyai kemampuan untuk membentuk tunas atau daun baru. Sehingga memungkinkan perbanyakan vegetatif dilakukan dengan menggunakan stek.
Tanaman dikotil menunjukkan keberhasilan untuk membentuk akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman monokotil. Alasan khusus hal ini masih belum jelas, namun dapat diduga karena posisi dan susunan sel-sel kambium pada monokotil yang tersebar sehingga lebih sulit membentuk kalus.
Pemahaman tentang lokasi pertumbuhan akar adventif penting dalam perbanyakan tanaman dengan stek. Proses pertumbuhan akar adventif terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) diferensiasi sel yang diikuti dengan inisiasi akar (2) diferensiasi sel-sel meristematis sampai terbentuk primordia akar dan (3) munculnya akar-akar baru(Ashari, 1995). Akan tetapi kali ini akan dijabarkan peranan hormon auksin dalam inisiasi akar tersebut.
PEMBAHASAN
Segera setelah stek dipotong dan ditanam pada media tanam yang sesuai untuk pertumbuhan akar, pada bagian yang terpotong membentuk kalus. Kalus merupakan kumpulan sel-sel parenkim yang laju pertumbuhannya tidak seragam. Kalus pada umumnya tumbuh pada jaringan cambium, namun kadang-kadang dapat juga tumbuh dari sel korteks atau galih (rongga gabus). Karena pada umumnya akar adventif tumbuh dari kalus, maka timbul anggapan bahwa terjadinya kalus sangat penting untuk pertumbuhan akar stek. Kenyataannya tidaklah selalu demikian (Ashari, 1995).
Pembentukan akar adventif sangat berkaitan dengan konsentrasi hormon alami yang terbentuk di dalam tanaman, sehingga terdapat kaitan yang sangat erat antara hormone tanaman dengan kemampuan berakarnya stek. Bukti menunjukkan bahwa semua jenis hormon mengatur pertumbuhan tanaman, tetapi tidak semua zat pengatur tumbuh tanaman adalah hormon (Ashari, 1995).
Dari semua jenis zat pengatur tumbuh yang sangat efektif mengatur pertumbuhan akar adalah golongan auksin. Sejak pertengahan tahun 1930-an dan selanjutnya, penelitian tentang aspek fisiologiss auksin telah banyak dilakukan. Banyak bukti menyatakan bahwa auksin sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan batang, formasi akar, menghambat terhadap pertumbuhan cabang lateral, absisi pada daun dan buah, serta mengaktifkan kerja lapisan cambium dan lainnya (Hartmann dan Kester, 1975).
Asam indol-3 asetat (IAA) diidentifikasi tahun 1934 sebagai senyawa alami yang menunjukkan aktivitas auksin yang mendorong pembentukan akar adventif. IAA sintetik juga telah terbukti mendorong pertumbuhan akar adventif. Pada era yang sama juga ditemukan asam indol butirat (IBA) dan asam naptalen asetat (NAA) yang mempunyai efek sama dengan IAA. Dan skarang sesungguhnya, hal itu ditunjukkan bahwa inisiasi sel untuk mmbentuk akar tergantung dari kandungan auksin (Hartmann dan Kester, 1975).
Pembentukan inisiasi akar dalam batang terbukti tergantung pada tersedianya aiksin di dalam tanaman ditambah pemacu auksin (Rooting Co-factors) yang secara bersama-sama mengatur sintesis RNA untuk membentuk primordia akar (Hartmann dan Kester, 1975).
PROSES SINTESA AUKSIN
Menurut Larsen, 1944 dalam Abidin (1982) Indoleacetaldehyde diidentifikasikan sebagai bahan auksin yang aktif dalam tanaman. Selanjutnya Larsen (1951); Bentley dan Houstley (1952) mengemukakan bahwa zat kimia tersebut aktif dalam menstimulasi pertumbuhan kemudian berubah menjadi IAA. Perubahan tersebut menurut Gordon (1956) adalah perubahan dari Tripthopan menjadi IAA. Tryptamine sebagai salah satu zat organic, merupakan salah satu zat yang terbentuk dalam biosintesis IAA. Dalam hal ini perlu dikemukakan pula bahwa Tryptophan adalah zat organic terpenting dalam proses biosintesis IAA (Thimann,1935).
Bahan organic lain yaitu Indoleacetonitrile adalah bahan organic yang ditemukan dalam tanaman Cruciferae dan dapat dikelompokkan ke dalam auksin (Jones et al.,1952). Menurut Thimann dan Mahadevan (1958), zat tersebut atas bantuan enzim nitrilase dapat membentuk aksin. Cmelin dan Virtanen (1961) menerangkan bahwa Indoleacetonitrile yang terdapat pada tanaman, terbentuk dari Glucobrassicin atas bantuan aktivitas enzim myrosinase. Dan zat organik lain (Indoleeethanol) yang terbentuk dari Trypthopan dalam biosintesis IAA atas bantuan bakteri (Rayle dan Purves, 1976 dalam Abidin, 1982).
Sebagaimana kita ketahui, IAA adalah endogenous auksin yang terbentuk dari Tryptophan yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman. Didalam proses biosintesis, Trytophan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole pyruvic acid dan indole-3-acetaldehyde. Tetapi IAA ini dapat pula terbentuk dari Tryptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetic acid (IAA). Sedangkan mengenai perubahan dari ndole-3-acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzim nitrilase prosesnya masih belum diketahui (Abidin, 1982). Secara sederhana bahwa gula (glukosa, arabinosa) dan lemak membentuk kompleks IAA (Heddy, 1996).
Pemecahan IAA dapat pula terjadi di alam. Hal ini adalah sebagai akibat adanya photo oksidasi dan enzim. Dalam photo oksidasi, pigmen pada tanaman akan menyerap cahaya, kemudian energi ini dapat mengoksidasi IAA. Adapun pigmen yang erperan adalah Ribovlavin dan B-Carotene (Abidin, 1982).
Enzymatic oxidation yang terjadi pada IAA telah ditemukan oleh para ahli dalam berbagi jaringan tanaman. Oksidasi IAA oleh hydrogen peroksida, kemudian di katalisasi oleh enzim peroksida sehingga menghasilkan indolealdehyde yang bersifat naktif. Ada hubungan yang berbanding terbalik antara aktivitas oksidase IAA dengan kandungan IAA dalam tanaman. Apabila kandungan IAA tinggi, maka aktivitas IAA oksidase menjadi rendah, begitu pula sebaliknya. Di daerah meristematic yang kadar auksinnya tinggi, ternyata aktivitas IAA oksidasenya rendah. Sedangkan di daerah perakaran yang kandungan auksinnya rendah ternyata aktivitas IAA oksidasenya tinggi(Abidin, 1982).
Koepfli (1966) menerangkan bahwa posisi dan panjang rantai keasaman, berpengaruh terhadap aktivitas auksin. Rantai yang mempunyai carboxyl group yang dipisahkan oleh karbon atau oksigen akan memberikan aktivitas yang optimal. Ssebagai contoh IAA dan 2,4-D.
Dari hasil studi tentang pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan tekanan osmotic, meningkatkan permeabilitas sel terhdap air, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Menurut Wareing dan Phillps (1970) di dalam fase pertumbuhan tanaman tediri dari dua fase yaiti fase pembelahan dan fase perrkembangan. Pada saat sel mengalami enlargement phase, sel tidak hanya mengalami peregangan akan tetapi juga mengalami penebalan dinding sel baru. Pertumbuhan sel ini distimulasi oleh auksin(Abidin, 1982).
Pectic acid adalah suatu asam yang mengandung 1-4 rantai galacturonic acid. Galacturonic acid ini merupakan turunan dari galactose sebagai hasil oksidase carbon-6 suatu carbinoyl group (-CH2OH) menjadi suatu carboxyl group (-COOH). Dalam proses selanjutnya, terjadilah pergantian dari (-COOH) menjadi (-CH3) dengan mengalami proses esterisasi yang akhirnya menjadi Pectin. Tetapi pectic acid pun dapat pula berubah menjadi calcium pectate dengan penambahan Ca2+. Penambahan Ca2+ pada dinding sel dapat mengakibatkan rigiditas pada dinding sel, yang menghambat proses cell enlargement. Untuk menghindari hambatan tersebut auksin mempunyai peranan dalam menggeser Ca2+ dari pectic substance, sehingga terjadi pelunakan pada dinding sel(Abidin, 1982).
Menurut Delvin, 1975 dalam Abidin (1982), kehadiran auksin berpengaruh tehadap sintesa protein. Fungsi auksin di dalam proses tersebut membebaskan DNA dari Histone untuk sintesis RNA. mRNA akan membantu pembentukan enzim-enzim, enzim-enzim ini akan meningkatkan plastisitas dan plelebaran dinding sel. Sehingga secara umum auksin mendorong perpanjangan sel dengan cara mempengaruhi dinding sel.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1982. Dasar-dasar pengetahuan tentang zat pengatur tumbuh. Penerbit Angkasa. Bandung.
Hartman, H. T. dan D. E. Kester. 1975. Plant propagation. Prentice Hall International Inc. London.
Heddy, S. 1996. Hormon tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment