Jawapos, Minggu, 16 Sept 2007,
Oleh Muhidin M. Dahlan*)
Siapa akademisi yang bergelut di bidang sosial dan antropologi yang tak kenal dengan sepotong nama: Clifford Geertz (lahir di San Francisco, 23 Agustus 1926). Siapa pula yang tak kenal dengan generalisasi antropologisnya yang nyaris klasik tentang (pemeluk) agama di Jawa: santri, abangan, dan priyayi dalam karyanya The Religion of Java?
Tatkala antropolog asal Amerika Serikat ini mangkat setahun silam, 30 Oktober 2006, nyaris semua koran memuat ulasan in memoriam-nya. Termasuk Jawa Pos di rubrik ini. Bahkan Harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia sepurnama setelah kepergiannya harus mengadakan sebuah "tahlilan diskusi" untuk mengenang jasa "sang penemu" kategorisasi beragama di Jawa itu.
Tapi bagi (orang) Pare --atau Geertz menyamarkannya dengan nama lain: Mojokuto-- apa arti sepotong nama ini? Saya berani bertaruh mencari orang yang tahu nama ini saja di jantung kota Pare ibarat mencari seekor kutu di dalam lumbung. Padahal jasa Geertz memperkenalkan nama kota ini ke jantung universitas-universitas Eropa dan Amerika --khususnya yang mengkaji hal-ihwal spiritualitas masyarakat Jawa-- bukanlah sepele.
Pertama-tama datanglah ke perpustakaan kota ini yang berada di Jalan Kerinci di sisi kanan kawedanan (Pare adalah kawedanan termasyhur di seantero Jawa Timur). Jika Anda datang pagi hari, Anda akan melewati pasar klitikan tibanan. Perpustakaan itu bernama Wisma Perpustakaan Mas Trip yang mengingatkan kita dengan perpustakaan Kediri. Dari namanya saja terungkap bahwa perpustakaan ini sumbangan dari yayasan yang diambil dari nama seorang pelajar-prajurit yang sadar betapa pentingnya literasi bagi pertumbuhan masyarakat Pare.
Perpustakaan yang diresmikan Mendikbud Fuad Hassan pada 30 November 1989 itu terdiri atas dua lantai. Di lantai satu terdapat buku-buku literatur seperti ensiklopedia, kliping majalah, koran, dan meja petugas jaga yang jumlahnya sekira tujuh orang. Abaikan dan tak usah berkeringat-keringat menyusur semua lema judul buku di laci katalog. Langsung saja memeriksa satu per satu rak buku yang memang tak terlalu banyak itu.
Di rak buku literatur asing hanya ada satu rak. Sementara di bagian agama, hanya berbaris segelintir buku yang sampulnya sudah kusam. Nyaris tak ada buku baru di situ. Sepenuturan petugasnya, Mas Hendro, perpustakaan ini memang sedang koma. Selalu buka tapi pengunjungnya kian sepi lantaran buku yang tersedia cuma itu-itu saja. Jangankan buku baru atau yang paling prestisius --digital library-- ditemukan di kota yang namanya sudah menginternasional ini, di perpustakaan itu komputer keluaran paling kuno sekalipun tak terlihat nongkrong di atas meja petugas. Cuma ada satu mesin ketik yang berukuran sedang dan radio transistor tua keluaran zaman "Bambu Runcing". Kata Mas Hendro, radio yang sudah tunawicara itu warisan teman mereka yang sudah almarhum.
Hanya setengah jam mencari, saya pun berkesimpulan, Geertz tak ada di perpustakaan ini. Saya coba menanyakan kepada petugas apakah ada nama Geertz bersemayam di sini. Jawabannya agak berbelit-belit dan dengan pasti mengarah pada kesimpulan: tak ada. "Sepertinya saya pernah baca nama itu di Jawa Pos. Nggak tahu kapan. Tapi hanya orang-orang tertentu yang punya buku itu. Tapi, setahu saya masih penelitian dan buku itu belum dibukukan," demikian petugas itu sambil menunjukkan seorang kiai di sebuah pesantren di Tulungrejo.
Saya diam saja tak membantah. Sebab, setahu saya buku itu sudah lama sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan terbit berbentuk buku yang sebenar-benarnya. Bahkan buku-bukunya yang lain juga sudah terbit, seperti The Interpretation of Cultures, Negara: The Theatre State in 19th-Century Bali, The Politics of Culture, maupun After the Fact.
Dengan setengah panik, saya kemudian menanyai satu per satu pengunjung di lantai dua yang beberapa masih siswa dan lainnya beberapa pemuda. Satu orang, dua orang, enam orang. Jawabannya segendang sepenarian: tak ada yang tahu bahwa Clifford Geertz itu nama orang dan bahkan menganjurkan cari saja di bagian biografi.
Untunglah ada orang terakhir yang menyebabkan saya tak jadi seperti orang gila yang hendak bertanya setiap pedagang barang rongsokan yang berbaris manis di sepanjang Jalan Kerinci di mana perpustakaan itu berdiri. Namanya Sindu dari Desa Krenceng, Kecamatan Kepu. Dia sedang suntuk membaca di sudut ruangan. Rupanya dia tahu subjek yang sedang saya cari. Bahkan, pengalamannya sebagai sales yang menguasai gang-gang tikus seisi kawedanan ini mampu meyakinkan saya bahwa Geertz pernah tinggal di jantung kota ini. Ia lalu bertutur banyak tentang sisa-sisa penjelajahan Geertz yang menurut hematnya berpusat pada pasar yang dihuni oleh masyarakat urban, tradisional, pendatang Arab, maupun loji serdadu Belanda. "Ada satu gang di depan Taman Thamrin. Masuk saja ke situ. Ada rumah yang di situ tertulis "Clifford Geertz-Mojokuto".
Saya memang menuju alamat yang ditunjukkan. Pertama-tama memasuki Gang Welirang yang tepat berada di depan Taman Thamrin. Setelah dua kali berputar-putar tak ketemu, saya berhenti di sebuah warung. Si pemilik warung dengan suara menaik mengatakan ketaktahuan dan sekaligus keheranannya, "Siapa itu, Mas!"
Selanjutnya saya menyusuri Jalan Kawi yang tembus ke Pasar Pare. Beruntunglah saya setelah bertanya sekali, dioper kepada dua orang sepuh yang barangkali bisa tahu nama yang sedang saya cari. Orang pertama bernama Mbok Sutiyah. Dia adalah angkatan perintis kemerdekaan dan satu-satunya di Kawedanan Pare yang masih hidup sampai saat ini. Dia juga mengaku tak pernah tahu bahwa ada londo bernama Geertz keluar masuk Jalan Kawi ini untuk nongkrong-nongkrong di pasar.
Lalu di depan rumah Mbok Sutiyah ada Mbah Gento Pawiro yang juga sudah uzur. Dia juga sami mawon dan katanya tak ada kos-kosan yang ditinggali londo bernama Clifford Geertz.
Ya, sudah. Dengan setengah putus asa saya belok kanan dan pulang mengambil jalur melewati Pasar Lawas. Sebab sepenuturan Sindu, untuk meneliti Geertz mesti melihat pasar ini, di mana Geertz juga mengikuti secara dekat pola hubungan simbolisme budaya masyarakat Pare atau Mojokuto.
Saya lalu jadi terenyuh. Indonesianis satu ini sudah berlelah-lelah meneliti kehidupan kota ini pada sebuah masa dan menyebarkan informasi itu ke universitas-universitas terbaik dunia. Namanya bahkan nyaris jadi jimat untuk studi antropologi (dan juga sosiologi). Tapi, pada saat bersamaan nyaris semua warga kota ini tak mengenal sepotong pun namanya. Bahkan generasi yang paling sepuh sekalipun.
Saya memang tak menyalahkan ketidaktahuan warga Pare yang saya temui atas kehadiran sosok Geertz di kota mereka. Yang patut disayangkan adalah perpustakaan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat literasi masyarakat dan persemayaman ingatan akan laku hidup pengetahuan yang pernah diciptakan manusia. Bayangkan, perpustakaan itu saja tak sanggup mengabadikan nama Geertz, apalagi berharap banyak para pelajar belianya untuk kukuh melafadzkan namanya --syukur-syukur bisa membaca satu-dua karyanya. (*)*)
Muhidin M. Dahlan, kerani di www.indonesiabuku.blogspot.com (I:BOEKOE) Jakarta
0 komentar:
Post a Comment