Mudik lagi, mudik lagi.
Kata yang sering saya dengar, tetapi terasa hambar. Bagimana tidak, masuk kerja jam 8, pulang jam 21,00 lumrah dilakoni tiap hari. Bahkan jika perlu 7 X 24 jam kita stand by untuk urusan kantor. Membosankan??? ah, tidak sama sekali, tetapi melelahkan.
Jangankan kata mudik, istirahat tenang di rumah saja jarang bisa kita nikmati. Jelas enakan mereka yang suka mendelegasikan tugas dan kewajiban, sehingga bisa berlibur tiap bulan ke kampung halaman, dibandingkan kita.Akhir minggu seperti ini, paling-paling hanya bisa duduk didepan komputer main internetan. Kalau gak gitu, semalaman duduk-duduk sambil ngopi di warung. Paling maksimal juga belanja di swalayan yang murah, atau ke toko baju yang tiaphari diskon 50%. Itupun jika baru nrima gaji.
Untuk menikmati hidup kita cukup dengan saling mengobrol, ngopi tau makan di tempat dimana banyak kaum proletar mangkal. Dengan bertukar pikiran dengan mereka, setidaknya terjalin rasa “kebersamaan” akan nasib. Yach, walo di pundak kita terpasang emblem perusahaan besar, tetapi kita kan hanya pegawai rendahan yang tak kenal lelah untuk tidak beristirahat.Untungnya, di komunitas proletar tersebut kita seringkali bisa bernafas lega. Kita ternyata bernasib lebih baik dari mereka.
Dan mungkin mudik adalah salah satucara kita untuk berbagi kebahagiaan dan “kesengsaraan” kita dengan saudara di kampung. Dengan berkardus-kardus oleh oleh, kita berharap keluarga, teman dan tetangga kita di rumah tersenyum. Cukuplah senyuman itu menjadi obat kuat kita untuk meraup rupiah di kota orang.
0 komentar:
Post a Comment